Jumat, 10 April 2009

Hingar Bingar POLITIK negeri ini...(celotehan seorang perempuan yg ga ngerti politik sama sekali)

Entah dari beberapa bulan yang lalu...
TV...Koran...Majalah...Rad
io...Internet...semuanya jadi media promosi para CALEG alias Calon Legislatif aka orang2 yang nantinya bakal memperebutkan kursi panas di DPR...itu tu yang katanya wakil rakyat...=)
ini okelaaaah buat informasi bekal nyontreng...biar ga salah pilih...perlu siy perlu banget sosialisasi partai dan caleg itu...
tapi ini ni yang penting...
Pusing kepala saya liat poster2 iklan CALEG dari yang mini sampe ukuran jumbo memenuhi seluruh ruas jalan...mulai dari gang kelinci sampe jalan gajah...duuuh...sorry to say...mungkin itu penting kali ya...buat orang awam sseperti saya, itu useless...menuh2in ruang publik aja...bikin pusing...
(saya ingatkan, ini hanya tulisan seorang perempuan sok tau yang ga tau menau politik sama sekali)

Satu hal yang saya pertanyakan,,,
Sebenarnya apa siy yang mereka cari?
(saya perlu mengingatkan lagi, ini adalah pertanyaan bodoh seorang perempuan yang bego politik)

Kamis, 09 April 2009
PEMILU tiba...
PESTA DEMOKRASI ya katanya...
Saya yang sudah berbulan2 mendengar informasi ttg partai anu caleg anu...dihibur oleh hiasan kota bernama poster caleg setiap bepergian kemanapun...tetep aja bingung dalam menentukan pilihan, berniat untuk tidak GOLPUT maka saya menyontreng berdasar pada sesuatu bernama FEELING...(Oh, Stupid Me!!!) -JANGAN DITIRU!!!-
Bekal informasi yang dibaca dan didengar...sama sekali tidak saya jadikan referensi untuk memilih, memang saya akui, ini pilihan bodoh, dan saya akui lagi, ini memang Pemilu paling membingungkan setelah saya punya hak untuk ikut memilih,,,
(Saya ulangi lagi ya, ini adalah coretan seorang perempuan yang ngblank politik!!!)

Membaca sebuah tulisan IGNAS KLEDEN di KOMPAS yang bertajuk:
"Pemilu Legislatif, Wakil Rakyat, dan Nasib Rakyat"
Saya makin geleng-geleng kepala...

"Situasi ideal akan tercapai kalau para wakil rakyat dalam DPR bersaing tentang bagaimana dengan merujuk kepada ideologi partai mereka masing-masing, mereka dapat menerjemahkan aspirasi dan kebutuhan rakyat serta program politik menjadi keputusan politik yang sebaik- baiknya, yang menguntungkan sebanyak mungkin orang. Sebaliknya, situasi parodis akan muncul kalau DPR dijadikan ajang masing-masing politisi partai untuk memperjuangkan kepentingan partainya dan kepentingan dirinya sendiri. Seorang anggota DPR yang terpilih adalah utusan partainya, tetapi dia menjadi wakil rakyat, bukan wakil partainya. Partai politiknya dianggap membekali dia dengan segala perlengkapan untuk menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.

Dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat, para politisi di DPR mempunyai dua kemampuan—dan ini sejalan dengan sifat ganda politik yang membuat politik menjadi kegiatan yang begitu menarik. Kemampuan pertama adalah keterampilan membumi dan kemampuan kedua adalah kesanggupan mengudara. Tuntutan yang lebih sering terdengar ialah agar seseorang mampu membumi dan membumikan gagasan-gagasannya, tetapi hal penting yang dilupakan ialah bahwa politisi harus mempunyai kemahiran mengudara.

Kalau orang berbicara tentang perikemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sebuah sila penting dalam Pancasila sebagai dasar negara RI, maka para politisi diharap dapat membuat tema besar dan abstrak tersebut menjadi masalah dan pengalaman konkret yang dihadapi rakyat dalam hidup mereka sehari-hari. Politisi yang peka akan melihat bahwa prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab telah membumi dalam masalah anak-anak yang kehilangan orangtua dan melewatkan hari-hari tanpa masa depan di jalan-jalan. Mereka makan dari sisa makanan yang dilempar penghuni kompleks perumahan di tempat sampah, mengemis dalam hujan lebat atau di bawah terik matahari siang, kemudian tidur di emperan toko atau di kolong jembatan tanpa perlindungan dari angin malam dan dari ancaman kekerasan dan pemerkosaan.

Negara amat bangga kalau ada anak-anak Indonesia menjadi juara olimpiade fisika atau matematika internasional, tetapi negara tidak prihatin sama sekali banyak anak yang barangkali mempunyai intelegensi tinggi dan watak yang mulia tidak mendapat kesempatan mengembangkan diri menjadi warga negara yang berguna dan dapat dibanggakan. Politik kita adalah politik yang konsumtif (yang hanya mengonsumsi keberhasilan warga negara) dan bukan politik yang kreatif dan produktif (yang memproduksi keberhasilan warga negara).

Sebaliknya, dengan kemampuan mengudara para politisi kita akan segera melihat bahwa membiarkan kendaraan umum melepaskan asap hitam di jalanan umum setiap hari adalah penghinaan terhadap ekologi dan pelecehan terhadap hak masyarakat untuk hidup sehat; bahwa membiarkan korban Lapindo kehilangan rumah dan pekerjaan sambil menderita semburan lumpur panas bertahun-tahun, tanpa mereka tahu harus mengadu kepada siapa, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dihormati dalam politik yang santun di seluruh dunia. Pertama, itu bukanlah tanda perikemanusiaan yang adil dan beradab. Kedua, ini jelas mengabaikan asas kesejahteraan rakyat. Ketiga, ini juga sebuah gejala vacuum of power karena kekuasaan negara yang harus melindungi warga negara tidak terasa hadir di sana.

Dalam kampanye para partai politik, penderitaan rakyat di Lapindo tidak pernah menjadi tema, seakan-akan ini bukanlah persoalan, seakan-akan penderitaan itu tidak harus diatasi, seakan-akan politik berkenaan dengan semua orang, kecuali dengan para saudara kita yang amat menderita suatu bencana yang telah muncul bukan karena kesalahan mereka. Politik kita kehilangan sensitivitas terhadap nasib manusia meskipun setiap pernyataan politik tidak pernah lupa mencantumkan tekad menghormati martabat manusia. Politik kita tidaklah mengangkat persoalan, menghadapi dan menyelesaikannya, tetapi mendiamkan persoalan dan membiarkannya.

Ilustrasi ini mudah-mudahan dapat sedikit menunjukkan bahwa menjadi politisi bukanlah perkara yang mudah dan menjanjikan hidup yang enak, apalagi kalau politisi bersangkutan mengajukan diri sebagai wakil rakyat. Para politisi kita percaya bahwa mereka harus pandai berbicara dan terampil bernyanyi dan berjoget di atas panggung, tetapi mereka lupa kalau tugas mereka yang lebih penting adalah mendengar dan menyimak apa kata rakyat yang mereka wakili."

(diambil dari kompas.com, edisi cetak hari ini)

*Saya tidak mau berceloteh lebih panjang lagi, karena politik adalah hal njelimet yang sangat tidak saya sukai, jika ada bagian dari hidup yang paling saya benci adalah berpolitik!
Sebagai warga negara indonesia, perempuan, mahasiswa, calon ibu-ibu nantinya, berniat jadi seorang pendidik insyaallah, sayang anak-anak, benci rokok, cinta lingkungan, cinta flora (kecuali kucing) dan fauna, penyuka batik dan sangat cinta tanah air...(hehehe)...
saya benar2 menuntut sebuah progress dalam segala hal di negeri ini,
saya benar2 menaruh harapan pada bapak-ibu pejabat yang menang pemilu,,,
tolong lebih care dan taruh rasa empati dalam porsi yang besar di hati ibu bapak sekalian...
terlalu banyak rakyat kita yang butuh sentuhan tangan ketulusan untuk mengeluarkan mereka dari lingkaran kesulitan yang menghimpit...(dan saya rasa ini adalah tugas kita semua, untuk saling bantu)
mereka telah setia berdiri mengabdi pada tanah ibu pertiwi dalam suka dan duka yang silih berganti...
saya hanya meminta, tolong tengoklah mereka sekali-kali, yakinlah...mereka lebih penting dari sekedar urusan multirateral dengan negara-negara bule-arab-cina sana...
(oke, saya ingatkan lagi, ini celotehan sok tau seorang perempuan yang buta politik)

Untuk dijadikan renungan untuk kita semua,yang ingin membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik dan manusiawi...
Sebuah pernyataan Barack Obama yang saya qoute, kalau tidak salah bunyinya seperti ini...
"You know, there's a lot of talk in this country about the federal deficit. But I think we should talk more about our empathy deficit, the ability to put ourselves in someone else's shoes; to see the world through the eyes of those who are different from us, the child who's hungry, the steelworker who's been laid-off, the family who lost the entire life they built together when the storm came to town. When you think like this,when you choose to broaden your ambit of concern and empathize with the plight of others, whether they are close friends or distant strangers, it becomes harder not to act; harder not to help."
(Hemm,,saya kasih tau lagi, ini cuma pendapat seorang perempuan yang lebih sering terlihat idiot daripada jenius kalo ngomongin politik)

Hem...
Let's Build Our lovely country together...^^
-Seorang perempuan sok tau yang ga tau apa apa soal politik-